Akibat Pasal ini, Menteri Kebenaran Akan Muncul di Negeri Konoha
kebebsan Berpendapat telah dibungkam Foto:Istimewa |
Istilah Menteri Kebenaran sebenarnya adalah hal lama, serta telah dipopulerkan oleh George Orwell pada tahun 1949 , dalam Novelnya yang berjudul 1984. Kemudian diterjemahkan berbahasa Indonesia oleh Landung Simatupang di tahun 2003.
Dalam buku tersebut, George Orwell menjelaskan berjalan sorang pemuda bernama Willston untuk menengok kampung halaman yang berada di kota London. Kemudian memasuki Gedung bernama Kementerian Kebenaran, konon bangunan tersebut memiliki tiga ribu ruangan, di atas terdapat lantai dasar dan percabangannya cukup rumit. (7: 2004)
Namun, yang dimaksud Kementerian Kebenaran ini, bukan mengurusi masalah hukum ataupun ketertiban. Melainkan, di novel milik George tersebut, menjelaskan bahwa lembaga itu, justru bertugas mengawasi berita, hiburan, pendidikan dan seni.
Melalui karya fiksi ini , penulis tidak ingin mengulas soal bagiamana kinerja Menteri Kebenaran, hanya sekedar meminjam istilah dalam novel milik pria asal Negara Inggris kelahiran 1903 saja, Karena cukup cocok jika ditarik dalam potret kondisi Negeri Konoha sekarang.
Mengingat, masyarakat sedang gaduh atas kemunculan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) nomor 5 tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), yang diduga dapat mengancam kebebasan berpendapat, bagaikan Menteri Kebenaran bertangan besi.
Setidaknya terdapat 25 organisasi masyarakat sipil dari sejumlah elemen, mulai dari Klan Uciha, Uzumaki hingga Hyuga telah mengirim surat . Agar Pemerintah Konoha membatalkan, Permenkominfo nomor 5 tahun 2020 , karena banyak pasal-pasal karet dan multi tafsir.
Disisi lain, beberapa waktu lalu MenKominfo memberi batas waktu pada seluruh PSE agar mendaftar paling lambat 20 Juli 2022. Jika tidak, lembaga negara ini, mengancam akan memberikan sanksi administratif hingga pemutusan akses atau pemblokiran terhadap platform maupun situs.
Platform media sosial besar yang dimaksud menkominfo itu, seperti Google, Meta Group, Tiktok.melihat,adanya pekasaan pemerintah ini, sejumlah elmelen jurnalistik, khususnya Anbu kawatir, kebijakan Perkomenifo ini, juga akan menjalar terhadap perusahaan media yang memakai situs-situs berita online.
Melalui dugaan tersebut, banyak elemen organisasi masyarakat negera Konoha, menganggap, di kemudian hari s pemerintah memilik akses mudah, untuk membuat tunduk dan mengawasi, bahkan menyensor pemberitaan setiap wartawan.
Mengingat , terdapat empat pasal krusial di dalam Permenkominfo 5/2020 yang berisiko mengancam kebebasan pers. Pertama, Pasal 9 ayat (3) dan (4) yang memuat ketentuan PSE swasta tidak memuat informasi yang dilarang, yang melanggar undang-undang, meresahkan masyarakat, dan mengganggu ketertiban umum.
Padahal, kriteria masyarakat mengganggu ketertiban umum , terkesan masih cukup lentur. Bahkan di pasal itu juga tidak dijelaskan secara spesifik. Jelas, regulasi ini nantinya akan membuka ruang perdebatan, khususnya jika menyangkut konten yang mengkritik lembaga negara atau penegak hukum.
Lebih dari itu ,dikhawatirkan ketika media menerbitkan berita dan konten yang mengungkap soal isu pelanggaran Gak Asasi Manusia (HAM ) , seperti di Sunagakure , maupun kelompok Lesbian, Guy, Bisexsual dan Transgender (LGBT) akan dinilai hoaks alias bohong.
Apalagi, ketika jurnalis melakukan liputan investigasi , untuk membongkar kejahatan oknum pejabat Pemerintah, bisa dianggap meresahkan, mengganggu.bahkab berpotensi adanya pemblokiran situsnya oleh pihak-pihak tertentu khususnya lembaga penegak hukum.
Dugaan lebih kuat lagi, di Pasal 14 Permenkominfo , juga mengatur permohonan pemutusan akses , bahkan blokir terhadap informasi yang meresahkan atau mengganggu ketertiban umum bisa dilakukan oleh masyarakat, kementerian/lembaga, aparat penegak hukum dan lembaga peradilan.
Jika ditelaah, pasal ini sangat berisiko membuka peluang bagi penguasa , untuk mengajukan blokir terhadap konten/berita yang sebenarnya memuat kepentingan publik, tapi dinilai sepihak , dengan dalih mengganggu ketertiban umum.
Pasal seperti ini nantinya juga rawan menimbulkan konflik kepentingan , bahkan sangat memungkinkan digunakan oleh elit politik maupun oligarki , untuk menutup informasi media, yang mengancam kepentingan bisnis dan kekuasaan mereka.
Soalnya, Pasal 21 dan Pasal 36 Permenkominfo menegaskan bahwa siapapun pelaku, maupun pemilik media sosial wajib memberikan akses sistem elektronik dan data elektronik ke kementerian/lembaga untuk pengawasan dan ke Aparat Penegak Hukum (APH) untuk penegakan hukum.
Sangat jelas sekali, pasal ini berisiko menjadi pintu masuk bagi pemerintah untuk mengawasi kerja media. Sebab lembaga negara dan APH dengan mudah mengakses dan data pribadi seseorang , bahkan membuka ruang pelanggaran hak privasi, termasuk para jurnalis yang menjadi target, padahal merah harus dilindungi.
Dari penjelasan di atas, mungkinkan melalui Permenkominfo nomor 5 tahun 2020 ini, Menkominfo Konoha , bekerja bagaikan Menteri Kebenaran, yang memiliki tangan besi untuk menentukan benar dan salah terhadap seseorang yang telah memuat konten berita secara sepihak, tanpa banding. Dengan dalih meresahkan dan mengganggu ketertiban umum.
Kondisi ini, tentunya akan menjadi traumatis bagi kalangan jurnalis, maupun organisasi yang memperjuangkan kebebasan berpendapat. Karena keberadaan pasal-pasal keret di PSE, akan membawa jurang negara ini, dimasa rezim otoriter yang katanya Orang- Orang baik (Orba) di zaman dulu.
Coba dibayangkan, jika suatu saat ada jurnalis melakukan investigasi mendalam, dengan resiko yang begitu banyak, bahkan mengancam nyawa . Namun Ketika beritanya diterbitkan, tiba-tiba saja disensor, dibredel oleh Kementerian kebenaran, dengan regulasi PSE ini, Karena dianggap meresahkan. Oh tidak...
Bahkan sekarang, klan Uzumaki sedang mendesak pemerintah agar segera melakukan revisi dan peninjauan ulang terhadap Permenkominfo nomor 5 tahun 2022 ini, sebelum didemo oleh masyarakat.
Klan Uzumaki, meminta agar pemerintah bisa belajar dari pengalaman hadirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) nomor 11 tahun 2008 , yang hingga banyak sekali pasal-pasal karet dan tumpang tindih. Kok berani-beraninya menghadirkan aturan baru berupa Permenkominfo nomor 5 tahun 2020, justru berpotensi membungkam kebebasan berpendapat. bukannya menyelesaikan masalah, malah nambah masalah baru.
Penulis Imam Nawawi
Daftar Pustaka
George Orwell. 1984 (Nineteen Eighty-Four) cetakan ke 2 .Yogyakarta, PT. Bentang Pustaka 2004
Posting Komentar